bagja

Tuesday, April 15, 2008

litigasi: ANALISA KASUS BULOGGATE II DITINJAU DARI FUNGSI DAN PERAN HUKUM BIROKRASI NEGARA

litigasi: ANALISA KASUS BULOGGATE II DITINJAU DARI FUNGSI DAN PERAN HUKUM BIROKRASI NEGARA

Wednesday, April 02, 2008

Putusan Mahkamah Konstitusi Yang Ambivalen

Putusan Mahkamah Konstitusi Yang Ambivalen

Belum sempat kita istirahat dari terkaget-kaget dengan adanya pertimbangan Mahkamah Konstitusi tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang secara garis besar melarang asas retroaktif dalam UU tentang KPK yang sebenarnya tidak perlu dimasukkan dalam pertimbangan karena tidak diminta oleh Pemohon, ditambah lagi dengan adanya UU PEMDA yang ditinjau dari putusan ambivalen maka kitapun akan lebih terkejut lagi tentang putusan MK mengenai Kamar Dagang dan Industri yang secara mengejutkan dengan kasus ini MK menjudicial review UU tentang MK sendiri sehingga MK menyatakan bahwa pasal 50 tentang kewenangan MK bertentangan dengan UUD.

Mahkamah Konstitusi yang didirikan pada tanggal 13 Agustus 2003[1] yang berdiri atas dasar pasal 7B, pasal 24 ayat (1) dan pasal 24 ayat (2) UUD 1945 perubahan ketiga, telah melahirkan pelbagai putusan yang diantaranya menyangkut : 1. Pengujian undang-undang terhadap UUD, 2. sengketa lembaga negara, 3. Pembubaran partai politik, 4. Perselisihan hasil Pemilu dan sebuah kewajiban memutus pendapat DPR dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau Wapres

MK pada awal mulanya sangat konsisten untuk menjalankan kewenangannya dengan dasar prospective (bersifat kedepan) dan bukan retroactive (bersifat kebelakang), sehingga kalau dikaitkan dengan kewenangan ini maka secara tidak konsisten MK menerapkan asas non retroaktive. Seharusnya jika MK konsisten maka MK tidak bisa menjudicial review pasal 50 UU Nomor 24 tahun 2003. Ada beberapa putusan yang dapat kita ambil kesimpulan tentang ketidakpastian pendirian Mahkamah Konstitusi

Dapat kita telaah dari putusan MK Nomor 069/PUU-II/2004 mengenai Komisi Pemberantasan Korupsi[2], secara mengejutkan MK menambahkan dalam pertimbangan hukumnya tentang asas retroaktive padahal hal tersebut tidak diminta dalam gugatan, dan hal ini menimbullkan pro kontra yang meluas dari pelbagai kalangan, dengan alasan inipula banyak pengacara-pengacara kasus korupsi menyatakan berbagai dakwaan korupsi yang disidang tidak bisa dilanjutkan karena UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK hanya berlaku semenjak diundangkan sehingga kasus-kasus sebelum itu tidak bisa diajukan ke pengadilan.

Sedangkan dari kasus pilkada sangat terlihat sekali putusan MK yang ambivalen, dengan menyatakan bahwa Pilkada tidak termasuk pemilu dalam pasal 22E akan tetapi termasuk kedalam pasal 18 UUD 1945, walaupun ada sebagian tentang bentuk peratanggungjawaban yang menjadikan KPUD menjadi lembaga independen, sedangkan di dalam pertimbangan hukumnya MK berharap nantinya penyelenggara pemilu adalah KPU, pertimbangan ini membuat MK seakan-akan hendak menyatakan bahwa yang gugatan dari KPUD dan 5 LSM pemantau adalah benar akan tetapi dapat diwujudkan nanti. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang independen atau tidaknya Mahkamah Konstitusi dalam membuat putusan ataukah ada hal-hal lain yang membuat keindependen ini bergeser.

Dan yang peling mengejutkan ketika MK dengan adanya kasus gugatan dari KADIN UKM yang mengajukan judicial review mengenai UU No 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan pasal UU No 1 tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri. Dan dengan gugatan tersebut MK memperluas kewenangannya (meminjam istilah dari Albert Hasibuan) menjadi sangat luas. Pasal 50 UU No 24 tahun 2003 tentang Mahkamah konstitusi membatasi kewenangan judicial review MK “Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, jadi MK hanya boleh menjudicial review sesudah UU tentang MK diundangkan. Akibat dari penghapusan pasal 50 maka MK bisa menjudicial review seluruh UU yang dilahirkan sebelum perubahan UUD 1945.

Ada hal yang menarik tentang dissenting opinion dari Achmad Rustandi yang menyatakan secara etika maka MK tidak bisa menjudicial review UU tentang Mahakamah Konstitusi itu sendiri, Achmad Rustandi mengambil kesimpulan ini dengan memeperbandingkan dengan hakim dalam perkara umum, perdata/pidana yang secara norma persidangan harus mengundurkan diri jika kasus yang akan ditangani berkaitan atau berhubungan dengan dirinya, dan hal ini menurutnya sama sekali bukan berarti meragukan imparsialitas dan integritas pribadi para hakim, melainkan merupakan kepatutan yang telah diakui secara universal (Achmad Roestandi)[3]. Jadi menurut salah seorang hakim MK sendiri secara sadar telah melanggar norma persidangan dan ditambah dengan adanya pendapat Natabaya yang menyatakan dalam dissentingnya bahwa jika MK menerima permohonan judicial review ini maka MK berarti telah menanggalkan kewenangan yang diberikan Undang-Undang Dasar melalui pembentuk undang-undang (wetgever)[4].

Menurut Laica Marzuki MK jika menerima permnohonan ini maka berarti MK telah melucuti kewenangan formeel recht yang diberikan de wetgever(pembentuk undang-undang) pada dirinya. Padahal formeel recht dibuat guna menegakkan kaidah hukum materiil[5]. Dari 3 pendapat Hakim Konstitusi tersebut dapat kita ambil bahwa secara hukum MK telah melampaui kewenangannya dengan menghapus pasal 50 UU No 24 tahun 2003.

Mengutip dari Lord Acton yang seringkali dipakai untuk menggambarkan kekuasaan “ Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely” maka gambaran MK pada saat ini adalah lembaga yang super yang bisa membatalkan pasal dalam UU pembetukannya sendiri. MK dengan putusannya telah mengambil kewenangan legislatif (legislative review) menjadi kewenangan MK, jika hal ini tidak ada yang mengontrolnya maka MK akan masuk dalam kategori lembaga yang dikatakan oleh Lord Acton, sehingga sangat berbahaya bagi MK dan bagi demokrasi itu sendiri, walaupun penulis percaya pribadi-pribadi dalam MK adalah pribadi mulia yang bercita-cita menegakkan hukum dinegara tercinta.

Tidak ada lembaga menurut UUD yang bisa mengontrol MK terkecuali MPR melalui UUD, sudah saatnya lembaga MPR berfikir secara konstruktif untuk membatasi kewenangan MK karena siapa tahu disuatu saat nanti MK tidak bisa menjaga kedemokratisannya dan kemuliannya. Karena secara logis MK pada saat ini adalah lembaga peradilan yang demokratis jika dilihat dari dissenting opinion dan birokrasi yang mudah. Viat Justicia Constitution!

Muhammad Mova Al Afghani lawyer at Lubis Ganie Surowidjojo

Rahmat Bagja, former researcher at PSHTN UI and now work at Widjojanto, Sonhadji & Associates



[1] Mahkamah Konstitusi, Menjaga Denyut Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta 2004

[3] dissenting opinion Achmad Roestandi, Putusan MK No 066/PUU-II/2004

[4] Natabaya, ibid

[5] Laica Marzuki, ibid

Thursday, March 27, 2008

Urgensi Amendemen UUD 1945 Sebelum Pemilu 2009

Belakangan ini setelah perombakan kabinet menyita perhatian, mencuat kembali permasalahan usulan amendemen UUD 1945. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengusulkan perlunya amendemen kembali UUD 1945, terutama menyangkut pasal-pasal yang berkaitan dengan kewenangannya (22D ayat 1, 2 dan 3).

Usul tersebut akhirnya diwujudkan dengan terkumpulnya 238 suara pada 8 Mei 2007, sehingga memenuhi jumlah suara minimal (kuorum) sebanyak 226 anggota MPR, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 37 UUD 1945. Anehnya, sehari setelah usul akan diajukan kepada MPR, Partai Demokrat menarik kembali dukungan suara 23 anggotanya. Dengan demikian usul amendemen yang sudah sekian lama diupayakan DPD mentah kembali.

Penarikan kembali dukungan suara Partai Demokrat secara substantif dapat mengubur kembali harapan dan peluang amendemen UUD 1945 yang sudah di depan mata. Penarikan itu jelas merugikan Partai Demokrat sendiri, mengingat Presiden Yudhoyono yang berasal dari Partai Demokrat sering kali dihadapkan pada persoalan-persoalan pemerintahan yang berawal dari ketidakjelasan UUD 1945. Tetapi, kabar terbaru dari wacana ini, DPD berhasil kembali mengumpulkan dukungan sehingga melebihi batas minimal untuk mengajukan usul amendemen UUD 1945.

Perkembangan-perkembangan mengenai wacana amendemen V UUD 1945 menunjukkan suatu tanda positif akan kepedulian terhadap perkembangan ketatanegaraan Indonesia, sehingga usul amendemen UUD 1945 merupakan sebuah "keniscayaan". Hal itu dikarenakan hasil empat kali amendemen UUD 1945 banyak kelemahan, yang menimbulkan persoalan-persoalan di dalam praktik pemerintahan. Persoalan-persoalan tersebut tidak cukup diselesaikan dengan cara pembuatan undang-undang, yang sampai sekarang masih dilakukan lembaga legislatif. Cara tersebut hanya bersifat tambal-sulam dan tidak menyelesaikan masalah, karena persoalan yang dipermasalahkan sangat mendasar, yang seharusnya diatur dalam suatu UUD. Melalui amendemen kembali UUD 1945 merupakan solusi terbaik untuk mengatasi persoalan-persoalan di dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan.

Akan tetapi amendemen kembali UUD 1945 tidak bisa dilakukan secara parsial. Jangan pula kita terjebak mengamendemen UUD tapi terbatas pada kewenangan DPD karena DPD yang mengusulkan. Amendemen ini harus dijadikan pintu masuk untuk membenahi UUD 1945 yang selama ini dirasakan kurang mampu menyelesaikan permasalahan ketatanegaraan. Amendemen tersebut harus dilakukan secara komprehensif menyangkut soal kejelasan posisi dan hubungan (checks and balances) kelembagaan negara yang terdapat pada Kejelasan Sistem Pemerintahan, Kekuasaan Legislatif, Kekuasaan Kehakiman.

Permasalahan di atas dapat kita simpulkan dari berbagai perkembangan ketatanegaraan yang ada setelah amendemen IV UUD 1945 juga kasus-kasus yang diajukan pada Mahkamah Konstitusi.

DPD yang menginginkan lembaganya diperkuat supaya lebih mempunyai daya tawar terhadap undang-undang yang berkaitan dengan daerah, yang mau tidak mau harus mengubah Pasal 5 dan 22D, solusi itu juga sesuai dengan hasil Komisi Konstitusi yang menginginkan sistem parlemen kita menjadi strong bicameralism. Permasalahan DPD akan berakibat pada lembaga MPR yang diatur pada Pasal 2 dan 3 UUD 1945, yang selama ini masih dipertahankan untuk dievaluasi keberadaannya, apakah diperlukan atau tidak lembaga ini menjadi lembaga parlemen ketiga setelah DPR atau DPD, ataukah hanya bersifat joint session antara lembaga DPR dan lembaga DPD.

Praktik selama ini yang kita lihat, fungsi dan wewenang lembaga MPR tidak bersifat rutin, sehingga tidak diperlukan lembaga permanen. Sistem pemerintahan kita yang presidensial dan diatur dalam Pasal 4-16 UUD 1945 seharusnya diperkuat untuk mengimbangi kewenangan-kewenangan pada legislatif, sehingga sistem presidensial kita berjalan sebagaimana mestinya.

Kekuasaan kehakiman yang sekarang tidak jelas aturan mekanisme checks and balancesnya harus juga diatur dalam UUD, karena setelah putusan MK pengawasan terhadap lembaga pemegang kekuasaan kehakiman menjadi tidak jelas. Komisi Yudisial akhirnya menjadi tumbal dari ketidakjelasan itu. Peran Komisi Yudisial secara nyata yang dapat dirasakan hanyalah pada saat pemilihan calon hakim agung dan tidak pada fungsi pengawasannya. Mnejadi tidak jelas siapa yang mengawasi hakim konstitusi, sehingga tidak tercapai mekanisme checks and balances yang dulu diharapkan.

Penguatan atau daya paksa putusan MK pun seharusnya diatur dalam UUD, karena bagaimana lembaga negara lain mau menghormati putusan MK kalau tidak jelas daya paksanya? Hal itu terlihat dari keengganan pemerintah menjalankan putusan MK mengenai Anggaran Pendidikan dalam UU APBN.

Jika ingin lebih maju dalam hal kontrol masyarakat terhadap lembaga negara adalah dengan memasukkan Constitutional Complaint (CC) dalam UUD, karena dengan memasukkan CC ke dalam UUD peraturan dan kebijakan yang dirasakan individu masyarakat bertentangan dengan UUD dapat diajukan ke MK.

Mengingat pentingnya amendemen UUD 1945, prosesnya harus dilakukan sebelum Pemilu 2009 melalui komisi/badan khusus yang dibentuk untuk itu. Karena, setelah Pemilu 2009 konfigurasi politik akan berubah. Walaupun mungkin masih tetap ada anggota DPD yang ingin melanjutkan perjuangan itu, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan untuk tidak melanjutkannya. Kalaupun dilanjutkan, anggota DPR dan DPD terpilih akan tersita waktunya terlebih dahulu untuk beradaptasi dengan pekerjaan juga urusan-urusan internal lembaga mereka.

Dengan adanya komisi/badan khusus yang dibentuk diharapkan rumusan-rumusan UUD 1945 menjadi lebih komprehensif, karena akan dibahas ahli-ahli juga komponen masyarakat yang mengerti betul permasalahan dan solusi terhadap materi UUD 1945.

Bukankah naskah dan bahan perbaikan UUD 1945 telah dibuat Komisi Konstitusi sehingga sudah ada bahan dasar dalam melakukan amendemen?

Keuntungan lain dari pembentukan badan/komisi khusus adalah MPR tinggal membahas pada tahap final dan mengesahkannya dengan tidak mengganggu pekerjaannya sebagai anggota DPR dan DPD, yang sibuk mengerjakan dan membahas UU.

Rahmat Bagja, Kadiv Konstitusi Konsorsium Reformasi Hukum Nasional

Last modified: 25/5/07

http://www.suarapembaruan.com/News/2007/05/27/Hukum/hk01.htm

Saturday, July 24, 2004

Menuju Kesana